Pakar Hukum Setuju Revisi UU KPK
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang pakar hukum pidana Prof. DR. Romli Atmasasmita dan Prof. DR. Andi Hamzah terkait dengan revisi/perubahan atas RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
“Jadi pada prinsipnya kita undang beliau ini karena punya kompetensi terhadap lahirnya UU KPK dan pembentukan KPK sehingga mempunyai satu tanggung jawab moral terhadap UU ini,” jelas Firman saat ditanyai perihal mekanisme dalam mengundang nara sumber saat rapat di Gedung Nusantara I, Selasa (10/2).
Romli Atmasasmita yang juga merupakan arsitek pembentukan KPK menyetujui perubahan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Harapan kita waktu itu muncullah anak bangsa yang punya integritas penuh, professional dan akuntabel namun perjalanannya tidak seperti yang diharapkan,” ujar Romli.
Ia juga menyetujui terhadap perubahan empat poin dalam RUU KPK yakni Mekanisme Penyadapan, Dewan Pengawas, Pembentukan Penyelidik dan Penyidik dan Kewenangan KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyedikian dan Penuntutan (SP3). Perlu semua diubah, lebih dari empat pun tidak masalah demi perbaikan. Khususnya pembentukan dewan pengawas yang sebaiknya diluar struktur organisasi KPK dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
“Terpaksa harus dibentuk dewan pengawas karena pengalaman masa lalu, KPK jilid III, keputusan pra-peradilan dua kasus BG dan HB sudah menunjukkan KPK tidak akuntabel,” ujarnya.
Hal senada disampaikan anggota FPDI Perjuangan Henry Yosodiningrat dengan menambahkan bahwa revisi UU terhadap KPK merupakan suatu keharusan. Politisi PDI-P ini menyinggung Pasal 21 ayat 4 Undang – Undang No 30 Tahun 2002 yang menyebutkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.
Menurutnya, ini sudah kelewatan pasalnya untuk menjadi penuntut umum harus melalui jenjang pendidikan khusus terlebih dulu. “Kalau seorang pimpinan KPK yang enggak jelas latar belakang pendidikan dan pengalaman hukumnya kemudian ditetapkan sebagai penuntut umum, ini sudah kebangetan,” papar anggota Komisi II ini.
Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo (F-Golkar) menyebutkan DPR bersama Pemerintah berkewajiban untuk melakukan evaluasi yang merupakan suatu bentuk pertanggung-jawaban moral dan politik. (ann,mp)/foto:jayadi/parle/iw.